Sabtu, 11 Februari 2012

PERJALANAN HAMBA TUHAN (PART TWO)

“Mutiara Hatiku”

by : Yuka

Ibuku adalah wanita paling hebat yang aku miliki. Sewaktu aku masih kecil dan ketika itu aku masih duduk di bangku sekolah dasar ibuku kecelakaan, beliau ditabrak motor ketika menyeberang jalan. Aku sangat merasa bersalah atas kejadian tersebut, karena seharusnya selepas pulang sekolah aku langsung pulang tetapi ketika itu aku ikut kakakku dan teman-temannya pergi ke rumah ibu guruku yang telah selesai masa baktinya. Mulai saat itu aku tumbuh menjadi seseorang dengan rasa takut kehilangan yang berlebihan. Sejak itu kemana ibuku pergi aku tidak pernah ditinggal, karena jika ditinggal aku pasti ketakutan dan gelisah. Tetapi beberapa waktu setelah kejadian itu ibuku pergi ke luar kota, beliau pergi ke rumah uwakku di Prabumulih dan aku tidak diajak karena ketika itu belum liburan sekolah. Beberapa hari setelah kepergian ibuku aku kecelakaan, aku ditabrak salah satu sepeda motor yang saling bersenggolan saat pulang sekolah. Walhasil akupun tidak bisa berjalan karena kakiku bengkak.

Sewaktu bayi aku pernah diasuh oleh “Mak Buyung” (beliau dari suku Bugis, Makasar), menurut adat jikalau aku dan ibuku memiliki hari lahir yang sama dan memiliki wajah yang sangat mirip maka aku harus dititipkan kepada orang lain. Mungkin karena itu pula ketika masa aku memasuki Sekolah Menengah Pertama (SMP) sampai masa Sekolah Menengah Atas (SMA) bisa jauh terpisah dari ibuku, aku diasuh oleh uwakku di Prabumulih. Sebenarnya ada rasa enggan untuk berpisah dari ibuku, tetapi walaupun berat tetap kujalani itu demi masa depanku. Dan ketika memasuki masa kuliah akupun kembali ke pelukan ibuku dengan segala sifat manjaku.

Aku dan ibuku sering mengalami kejadian dan peristiwa yang sama. Seperti misalnya sewaktu di masa kuliah, aku pernah jatuh dari sepeda ketika berboncengan dengan teman kuliahku. Sepeda yang kukendarai masuk ke dalam got, tetapi untungnya air got tersebut tidak kotor bahkan bersih karena ketika itu dalam kondisi setelah diguyur hujan. Dan ketika sore harinya aku pulang dalam kondisi baju kotor dan kaki pegal-pegal, ternyata ibukupun dalam kondisi yang sama. Beliau terjatuh dari sepedanya saat pulang dari pasar. Subhanallah..

Kejadian yang paling aneh bin ajaib antara aku dan ibuku dan peristiwa ini menjadikan aku orang yang sombong terhadap Tuhanku, adalah ketika menjelang 40 hari kepergian ibuku ke alam keabadian. Saat itu aku sudah bekerja dan berprofesi sebagai seorang guru. Kisah ini bermula ketika bulan Desember 2006, seperti biasa ketika Hari Raya Idul Fitri aku pulang ke Palembang untuk bersilahturahmi kepada ibuku. Setelah liburan usai akupun harus kembali pulang ke Jakarta, dan ketika itu aku pulang bersama saudara sepupuku. Tidak ada hal atau firasat apapun yang kurasakan saat berpamitan kepada ibuku.

Dalam perjalanan pulang kami berniat singgah di Lampung ke tempat saudara suami sepupuku. Saat tiba di sana akupun mendapat telepon dari keponakanku (dia temanku sebangku ketika di SMP, SMPN 1 Prabumulih) yang memberitakan bahwa ‘wak Macit’ (beliau kakak perempuan ibuku) telah berpulang ke Rahmatullah. Airmataku langsung berderai tak tertahankan karena beliau adalah saudara ibuku satu-satunya yang masih ada dan tempat ibuku bercerita serta berbagi. Ada rasa kekhawatiran yang sangat besar dalam hatiku tentang ibuku. Aku takut ibuku sedih dan merasa tidak punya tempat lagi untuk bercerita, walaupun di rumah tempat ibuku tinggal ada keluarga kakakku sebagai tempat berbagi. Dan akupun takut dalam waktu dekat ibuku pun akan dipanggil juga oleh Allah SWT . Perasaan itu muncul mungkin karena rasa takut yang sangat besar akan kehilangan ibuku, karena beliau adalah bahagiaku dan tempat berpijakku.

Sejak kepergian uwakku aku mulai waspada tentang ibuku yang baru terkena stroke ringan. Dalam akal logikaku dan kesombonganku (aku melupakan takdir - Nya), aku memprediksi jika ibuku lahir bulan Januari maka berdasarkan cerita orang-orang dan pengalaman-pengalaman yang pernah kulihat, kepergiannya menghadap sang Ilahi pun sekitar bulan tersebut. Seseorang pernah mengatakan kepada ku bahwa ketika kita menghadap Sang Khalik waktunya tidak berjauhan dari ketika kita dilahirkan (Astaghfirullah.., betapa sombongnya..).

Dan ketika memasuki bulan Januari aku pun selalu merasa ketakutan yang berlebihan akan kehilangan ibuku untuk selamanya. Alhamdulillah bulan Januari akhinya berlalu tanpa ada hal apapun yang menimpa ibu, legalah hatiku karena ibuku masih tetap bersama walaupun jauh terpisahkan oleh samudera. Sekitar bulan Maret entah apa penyebabnya ada rasa yang menyelimuti hatiku bahwa aku akan segera ‘meninggalkan’ dunia fana ini. Perasaan itu sangat jelas dan kuat. Semakin jelas terasa ketika menginjak bulan April. Ketika itu aku khawatir bagaimanakah perasaan ibuku jika aku pergi meninggalkan beliau untuk selamanya. Tetapi perasaan itu pun sirna karena aku selalu berdoa kepada Allah SWT Rabbku, agar selalu menyayangi dan mencintai ibuku serta melindungi beliau dari hal-hal yang dzholim. Pertengahan bulan April perasaan itu semakin bertambah jelas, setiap aku bangun saat tengah malam aku mendengar dengan jelas suara burung yang kata orang-orang terdahulu itu adalah ‘pertanda’. Sampai pada saat tanggal 20 April 2007 dini hari aku mendengarkannya lagi, dan aku berbisik dalam hatiku “...Ya Rabb aku ikhlas jika ini saatnya aku harus menghadap-Mu, aku akan menunggu malaikat-Mu datang kepadaku dengan sapaan Assalamu’alaikum...”. Subhanallah.. Yaa Allah Yaa Rabbi, aku mohon ampun atas semua kekhilafan dan kesombonganku.

Pagi itu aku masih tetap bisa beraktifitas seperti biasa setelah melupakan kejadian pada dini hari. Entah angin apa yang membawaku untuk menelepon ibuku menanyakan kabar tentang beliau. Dan ibuku pun berpesan padaku agar aku bisa menjaga kesehatanku (karena belakangan aku sering terserang flu) dan agar aku baik-baik saja di kemudian hari. Kemudian aku melanjutkan aktifitasku mengajar di sebuah bimbingan belajar sampai saatnya waktu Maghrib tiba.

Ketika dalam perjalanan pulang sempat terbersit kembali di dalam hatiku apakah ini saatnya kepergianku. Kemudian aku pun dikagetkan oleh penyeberang jalan yang hampir kutabrak, Masya Allah. “..Ya Allah lindungi aku dalam perjalanan ini..” demikianlah kalimat yang terbenam dalam doaku. Sambil berdzikir aku pun terus melajukan kendaraanku agar segera sampai di rumah. Sesampai di rumah telepon genggamku berbunyi yang mengabarkan bahwa ibuku telah berpulang. Innalillahi wainnailaihi roji’un.. Seketika itu juga separuh nyawaku seakan terbang bersama angin dinginnya malam. Allahu Akbar.., inikah pertanda dari Mu dan sebuah isyarat yang tak kusadari sebagai manusia sombong yang ingin mendahului takdir-Mu. Selama 1 bulan lebih aku merasakan akan meninggalkan dunia fana ini, ternyata itu adalah sinyal yang tak kusadari bahwa bukan aku yang akan pergi melainkan ibuku (orang tersayangku) yang akan pergi menghadap Sang Khalik.

Astaghfirullah.. Ilmu Allah itu maha tinggi yang tidak bisa digapai oleh siapa pun dan tidak ada satu manusia pun yang mampu menandingi-Nya. Takdir Allah pun sangat rahasia dan tidak bisa ditebak ataupun diketahui oleh manusia sepintar apapun, serta tidak akan ada satu mahlukpun yang bisa mendahului dan menafsirkan takdir-Nya itu. Ya Rabb.., ampuni segala dosaku baik yang nampak maupun yang tak nampak, yang disengaja maupun tidak disengaja. Seperti itulah kedekatan perasaanku dengan ibuku. Semoga ibuku damai dan tenang di alam sana, serta selau berada disisi bersama Rabbku, Allah SWT. Aamiin Yaa Rabbal Aalamiin.

Satu minggu setelah kepergian ibuku rasa rindu pada beliau sangat mendalam, sehingga aku pun menangis dan bermunajat kepada Allah SWT. “.. Ya Rabb tiada Dzat yang pantas kurindukan selain Engkau, dan Tiada apapun yang bisa membahagiakanku selain ku bermunajat kepada Mu. Tapi aku tidak bisa membohongi hatiku Ya Rabb, bahwa aku sangat rindu kepada ibuku..” Alhamdulillah selama 3 malam berurutan ibuku hadir dalam mimpiku, rasa rinduku pun terjawablah sudah. Terima kasih Ya Rabb.., sungguh Kau maha penyayang, Kau maha pengasih dan Kau maha pengampun. Tiada Dzat yang pantas diagungkan selain Engkau.

Aku mengajar dan mendidik anak-anakku sejak tahun 1999, walaupun ketika itu penghasilan seorang guru masih belum bisa menjanjikan apapun tetapi hatiku tetap menjalaninya karena aku percaya bahwa inilah jalan Allah yang ditunjukkan kepadaku. Pada tahun 2003-2004 aku diangkat sebagai Guru Bantu Sekolah (GBS) dan berhak mendapatkan honor dari pemerintahan daerah, walaupun tidak banyak. Ketika kabar ini kuberitahukan kepada ibuku, beliau sangat senang dan bahagia. Kemudian sekitar tahun 2006 ada berita bahagia untuk para guru dengan status GBS, yaitu akan ada pengangkatan guru bantu sekolah sebagai pegawai negeri sipil tanpa melalui tes. Dan berita itu pun kusampaikan pada ibuku, beliau lebih bahagia lagi karena beliau pasti bahagia kalau melihat aku anaknya bahagia. Sepanjang penantian itu aku selalu berdoa dan memohon kepada Allah SWT untuk memperpanjang umur ibuku agar beliau bisa menyaksikan ketika aku diangkat sebagai pegawai negeri sipil. Tetapi ternyata takdir berkata lain, bulan April 2007 ibuku berpulang ke Rahmatullah dan beberapa bulan kemudian aku pun pemberkasan administrasi pegawai negeri sipil tepatnya pada bulan Desember 2007. Ketika itu bahagia yang kurasakan hampa karena tak ada lagi orang sebagai tempat aku berbagi kebahagiaan. Senyum dan bahagia serta doa ibuku sudah tidak lagi mengiringi langkah dalam kebahagiaaku, sehingga bahagia dan tawaku pun hampa tak berwarna.

Puncak kesedihanku sangat terasa saat masa pendidikan dan pelatihan dalam prajabatan sebagai calon pegawai negeri sipil. Ketika itu kebahagiaan teman-teman sejawatku begitu kental terasa, mereka bisa berbagi kebahagiaan dengan orang tua dan keluarga mereka masing-masing, sementara aku sendiri dalam kebahagiaan yang hampa tak punya tempat untuk berbagi bahagiaku kecuali dengan ketiga kakak-kakakku(tetapi tetap berbeda). Dan ketika itupula aku memohon kepada Allah SWT agar kebahagiaan yang kurasakan ini menjadi lebih berwarna. “..Ya Rabb aku mohon kepada-Mu bahagiakanlah hati ini yang rindu akan kehangatan orang yang begitu kusayang dan menyayangiku..” itulah sepenggal doa yang kupanjatkan kepada Rabbku.

Di akhir masa pendidikan dan pelatihan dalam prajabatan, semua peserta calon pegawai negeri sipil wajib menghadiri acara perpisahan pada malam inagurasi. Acara yang sangat meriah itu dihadiri oleh Sekretaris Daerah propinsi dan Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan tingkat Kota. Ketika acara sudah dimulai, semua suka dan duka pada masa pendidikan dan pelatihan terlupakan, akupun larut dalam acara tersebut. Pada saat-saat tertentu para peserta berfoto ria bersama ibu Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan itu. Awalnya aku tidak mau ikutan berfoto, tetapi tiba-tiba ada kekuatan yang sangat besar menarikku untuk melangkah mendekati beliau serta ikutan berfoto bersama.

Dan keajaiban pun kurasakan saat aku berfoto bersama beliau, ketika lengan kiri ku lingkarkan ke pinggangnya dan beliau pun membalas dengan lengan kanannya melingkar di pinggangku. Ketika itu aku merasakan perasaan bahagia yang amat sangat besar serta sulit diungkapkan dengan kata-kata. Orang yang ada disampingku ini seperti sesosok ibuku yang begitu dan sangat aku rindukan hadir dalam alam nyataku. “..Ya Rabb terima kasih, Kau telah kabulkan doaku melalui ibu yang ada di sebelahku ini..”, itulah kalimat yang terbersit di hatiku dalam sekian menit saat bersama. Subhanallah, bahagiaku terasa tidak hampa lagi bahkan lebih berwarna setelah kejadian malam itu. Selesai acara akupun tidak menyia-nyiakan waktu untuk menyempatkan diri bertemu dan berbicara dengan beliau. Dan Alhamdulillah, beliau pun menyambut sapaanku dengan lembut dan penuh keibuan. Aku ingin menyampaikan perasaanku kepada beliau seketika itu juga, tetapi tidak mungkin karena waktu jualah yang tidak bisa berkompromi. Akhirnya akupun disarankan untuk menemui beliau di kantornya pada hari Senin kemudian.

Saat menunggu datangnya hari Senin beraneka ragam rasa bahagia dan gelisah bercampur menjadi satu, bahagiaku karena Allah SWT telah memberikanku rasa yang indah yang sangat aku rindukan dari seorang ibu. Dan gelisahku karena ada rasa takut dan malu untuk mengungkapkannya pada beliau, khawatir jika beliau tidak merespon rasaku dan menganggap itu adalah suatu hal yang biasa. Tetapi gelisah itu segera kutepis dengan airmata bahagiaku yang tak hendak berhenti berderai. Sampai pada saatnya tiba datanglah hari yang ditunggu-tunggu, yaitu hari Senin.

Pada hari itu sepulang dari sekolah aku bersiap-siap hendak menemui beliau di kantor yang jaraknya tidak jauh dari sekolahku. Sepanjang perjalanan, godaan selalu datang agar aku tidak melanjutkan perjalananku dengan alasannya cuma satu takut ditolak. Tetapi semua bisikan-bisikan itu aku tepis dan akupun bertekad, aku harus bertemu beliau apapun yang terjadi. Akhirnya sampailah aku di kantor tempat beliau bekerja. Perlahan kulangkahkan kakiku memasuki ruangannya yang ada di lantai 3 sambil aku selalu berdoa agar aku tidak gugup dan tenang. Ku ketuk pintu sambil mengucapkan salam dan ternyata beliau ada di dalam ruangan serta menjawab salamku dengan lembut seraya mempersilahkanku duduk walaupun beliau sedang ada tamu (staff pegawainya). Akhirnya obrolan pun berlanjut antara aku, beliau dan tamunya. Setelah tamunya keluar ruangan aku pun meneruskan ceritaku tentang pengalamanku selama masa pendidikan dan pelatihan dalam prajabatan tersebut, ternyata beliau adalah orang yang ramah serta menyambut semua ceritaku dengan lembut dan beliau pun bertukar cerita tentang pengalamannya ketika masa-masa pendidikan dan pelatihan pada masa orde baru.

Sampailah pada saatnya aku mengutarakan perasaan yang kurasakan ketika acara inagurasi pada malam itu. Aku bercerita dengan linangan airmata yang tak mampu kubendung karena rasa haru biru yang sangat mendalam. Dan Alhamdulillah, beliau menyambut dan merespon dengan lembut layaknya seorang ibu. Setelah semua isi hati ku utarakan aku lega, bisulku akhirnya pecah juga, kegelisahan dan ketakutanku yang tak beralasan pupuslah sudah dengan sikap lembut dan ramah yang dihadirkan beliau. Sejak saat itu aku sering main ke kantor beliau jika aku kangen, dan beliaupun menyambut kedatanganku dengan hangat. Suatu waktu yang sangat membuatku terharu saat itu adalah ketika beliau memperkenalkanku pada salah satu teman pengajiannya sebagai anaknya. Saat itu adalah saat pertama kali beliau menyebut aku adalah anaknya. Terima kasih Ya Rabb.. Kau telah memberikan semua yang aku butuhkan dalam kebahagiaan lahir dan batinku. Dan ampunilah aku Ya Rabb.., jika aku tidak pandai mensyukuri dan khilaf atas nikmat yang telah Kau limpahkan dan Kau rahmatkan kepadaku.

Ya Rabb... dalam setiap lamunanku aku tak ingin luput dari dzikirku kepada-Mu. Dalam setiap detik aliran darahku aku tak ingin luput dari mengingat-Mu. Dan dalam setiap hembusan nafasku akupun tak ingin luput dari doaku kepada-Mu. Ya Rabb... Semoga dalam setiap jejak langkahku Kau tuntun aku dengan asma-Mu. Semoga dalam setiap pikiranku Kau bimbing aku dengan cinta kasih-Mu. Dan semoga dalam setiap perbuatanku Kau peluk aku dengan sayang-Mu. Ya Rabb.. Sayangilah orang-orang yang kusayangi dan menyayangiku, Cintailah orang-orang yang kucintai dan mencintaiku, serta Kasihilah orang-orang yang kukasihi serta mengasihiku. Lapangkanlah hati mereka, Luaskanlah pikir mereka dan rahmatilah mereka dengan segala cinta, kasih dan sayang Mu. Ya Rabb.. Tetapkanlah iman Islamku, masukkanlah aku ke dalam surga Mu dan jauhkanlah aku dari pintu neraka Mu. Semoga Bahagia di dunia dan akhiratku, Aamiin.

Be continued...